Catatanku...

05 April 2007


Sa’thumuk Bathuk Sanyari Bumi
Oleh Akhirudin Subkhi*


Ada kata bijak dari masyarakat Jawa sa’thumuk bathuk sanyari bumi yang kurang lebih seperti artinya bahwa sekecil apapun tanah maka akan sangat berharga. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa tanah adalah salah satu materi yang mempunyai nilai yang sangat tinggi (berharga) pada saat ini.
Adanya kasus penggusuran dari pihak yang mengaku pemilik tanah dari orang yang mendiami tanah tersebut banyak terjadi dimana-mana. Sebagai contoh di Kota Semarang belum lama ini kasus Cakrawala antara pehuni kawasan pemukiman cakrawala dan beberapa orang dan ormas yang mengaku sebagai pemilik tanah yang sah. Berlarut-larutnya masalah tersebut tentu saja sangat tidak diinginkan semua pihak. Masyarakat Cakrawala mengklaim bahwa mereka pemilik tanah karena telah membeli tanah tersebut dan telah membayar pajak ke pemerintah setempat. Dan anehnya lagi kawasan pemukiman tersebut ada aliran listrik disana dan telah terbentuk stuktur pemerintah, yakni rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW)

Disisi lain para pemilik dan ormas yang mengaku memiliki tanah tersebut juga mempunyai bukti sertifikat yang sah dengan memngkliam sejak puluhan tahun yang lalu. Namun lucunya, orang dan ormas tadi kenapa baru “berteriak” saat ini bahwa tanah cakrawala tersebut milik mereka. Apa karena harga dan nilai tanah cakrawala yang sudah tinggi sehingga mereka tergiur untuk mempermasalahkannya? Itu sangat logis karena letak geografis dan admnistratif tanah cakrawala berada pada pintu keluar jalur tol menuju Kali Banteng. Klau memang punya mereka, kenapa lupa sampai bertahun-tahun? Bukankah punya sertifikatnya? Mengingat sangat pentingnya (baca: berharga) sekecil apa pun ukuran tanah jika merujuk falsafah orang jawa!
Masalah yang terjadi di Kota Semarang hanya salah satu contoh dari sekian banyak kasus pertikaian warga dan beberapa pihak menyoal tanah. Hukum yang kurang tegas dan tersosialisasi, masyarakat yang kurang paham akan hukum yang berlaku, masih kacaunya sistem birokrasi yang ada sampai desakan ekonomi yang makin menggurita. Dengan perkembangan seperti sekarang ini, progresifsitas pembangunan fisik akan dibarengi dengan ketersediaan tanah yang semaikin sempit. Berkurangnya ketersediaan lahan (tanah) dari tahun ke tahun adalah sunatullah yang harus di yakini. Namun yang jadi persoalan berikutnya adalah sejauh mana penggunaan tanah yang ada dimanfaatkan sesuai dengan fungsi dari lahan (tanah) tersebut.
Masih lemahnya sistem kontrol (kebijakan) yang dimiliki oleh pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada ekologi dan masyarakat (public). Salah satu contoh, adanya ijin boleh dan tidak lahan digunakan adalah keputusan (kebijakan) pemerintah. Jika dari itu (awal) saja sudah tidak sesuai dengan aturan yang ada (misal: RUTRK, RUTRW dll) dan tidak berpihak pada ekologi dan masyarakat maka ini akan menjadi pemicu permasalahan di masa depan.

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu…..” (Al Qur’an 2:22)

-Berpijak pada kebenaran ilahi sangat sulit-
Coba katakan TIDAK!


* mahasiswa Geografi UNNES

0 Comments:

Post a Comment

<< Home