Catatanku...

13 November 2007


Mencermati Alih Teknologi Negara Maju terhadap Negara Berkembang*


Isu sensitif yang sering digunakan negara maju untuk menekan negara berkembang adalah hak asasi manusia, masalah lingkungan dan dumping harga. Tanpa menyepelekan masalah tersebut, bagaimana pun kita harus tetap waspada terhadap maksud-maksud tidak baik yang mengiringinya.

Konsep pembangunan mempunyai dua arti. Pertama, mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan dan kedua, pembangunan bersklala menyeluruh (global). Artinya pembangunan tidak bisa dilihat dari kepentingan saat sekarang saja tapi harus pula menjangkau masa depan juga. Disamping itu pembangunan harus memperhatikan kondisi bangsa dan negara lain, karena pada dasarnya masyarakat di dunia saling mempengaruhi. Kedua hal diatas mengisyaratkan semakin pentingnya aspek lingkungan dalam pembangunan suatu bangsa.

Kesadaran ini yang mendorong negara maju untuk mengembangkan clean industry, industri yang bersahabat dengan lingkungan. Negara-negara seperti Amerika Serikat, jepang, jerman dan negara Uni Eropa lainnya berlomba-lomba menjadi sebagai negara yang “bersih” dalam pembangunannya. Pada dasarnya, ada tiga kebijakan pokok yang ditempuh negara-negara maju tersebut dalam melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Pertama, adalah penetapan undang-undang tentang lingkungan yang disertai dengan hukuman atau sanksi tegas. Menurunnya kualitas lingkungan akibat polusi air, tanah dan udara tidak hanya menyebabkan degradasi ekologi dan menjadikan tidak sedap dipandang, tetapi sudah sampai menyebabkan bencana bagi manusia. Banyak penyakit baru yang muncul akibat polusi, seperti halnya kasus minamata (pada zamannya) dan pestisida DDT menyebabkan punahnya beberapa satwa dan juga penyakit tertentu di masyarakat dan masih banyak kasus yang lain. Dari situlah negara maju menetapkan undang-undang lingkungan yang disertai dengan sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Dan hal ini membawa pengaruh yang positif dalam pengelolaan limbah di negara maju yang bersangkutan.

Kebijakan yang kedua adalah peningkatan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga kualitas lingkungan hidup. Himbauan kepada masyarakat untuk menggunakan barang-barang yang bersahabat dengan lingkungan, pendidikan masalah lingkungan dimulai sejak dini (kanak-kanak) melalui sekolah dan keluarga adalah beberapa contohnya. Sementara itu, munculnya dan mulai diakuinya lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Greenpeace dan organisasi-organisasi yang konsen dengan masalah lingkungan.

Kebijakan ketiga, adalah mengembangkan konsep ekoteknologi (ecotechnology), teknologi yang berwawasan lingkungan dan bebas limbah. Masih ingat ketika negara-negara maju “membersihkan” penggunaan senyawa CFC (Chloroflourocarbon) yang menjadi penyebab berlubangnya lapisan ozon, sehingga negara-negara sepakat pada pertemuan yang bertempat di montreal tahun 2000 sebagai batas waktu dihapuskannya produksi CFC. Dan memacu negara-negara maju untuk mengembangkan dan menciptakan senyawa pengganti.

Di Jepang, perusahaan Asahi Glass berhasil membuat bahan pengganti CFC-13 dengan HCFC-225a (hidro-chloroflouro-carbon), yang juga berfungsi sebagai pelarut tetapi tidak merusak ozon. Perusahaan Daikin, suskses menemukan alternatif CFC-13 dengan susbsitusi senyawa beralkohol. Sedangkan perusahaan Showa Denko memperkenalkan senyawa HFC-113a atau hidroflourocarbon sebagai pengganti CFC-12. Sedangkan di Belanda, dimana kesadaran lingkungan sudah cukup tinggi, pemerintahnya menarget dalam jangka dua tahun mendaur ulang semua CFC di semua lemari es dan pendingin di seluruh dunia. Bahkan tahun 1992, di Enidhoven telah dibangun pabrik yang mampu memproses 70.000 lemari es pertahun, atau sekitar 10% dari semua lemari es yang dibuang. Dan di Jerman, pabrik semacam itu sudah dibangun beberapa tahun sebelumnya maklum Jerman memang paling unggul di dunia dalam teknologi daur ulang dan pemrosesan kembali senyawa CFC.

Dalam pengembangan ekoteknologi di negara-negara juga diarahkan pada pembuatan barang-barang yang berkarakter biodegradasi, terutama untuk menggantikan bahan plastik yang selama ini mencermari lingkungan karena sukar untuk didegradasi oleh alam. Selain itu, ekoteknologi juga diarahkan pada ke barang-barang elektronik lainnya. Seperti perusahaan Hattori Seiko di Jepang memproduksi arloji elektronik antribaterai, yang mengubah energi gerak menjadi daya kerja listrik.

Alih Tehnologi
Semenjak awal tahun 90-an negara-negara maju sangat agresif dan semangat untuk mengembangkan clean industry, mungkin kita bertanya: “Apakah upaya mereka benar-benar hanya didasari niat mulia untuk menyelamatkan bumi dari krisi lingkungan tanpa maksud yang lain?”. Tentu saja tidak. Ada motif lain yang tak kalah kuat yaitu motif ekonomi. Ada dua fenomena yang akan dipaparkan disini, menunjukkan kepentingan-kepentingan terselubung di negara maju disekitar masalah lingkungan.

Pertama, pada pertemuan KTT bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil negara-negara maju sangat terlihat keengganannya untuk alih teknologi terhadap teknologi-teknologi baru yang berwawasan lingkungan ke negara-negara berkembang. Pemerintah negara maju beralasan bahwa hak paten teknologi itu milik swasta, sehingga mereka tidak berwenang mengalihkannya kenagara lain, sedangkan negara berkembang menuntut agar pemerintah di negara maju membeli hak paten teknologi yang bersangkutan dari pihak swasta kemudian mentransfer teknologi ke negara berkembang sebagai bentuk kemitraan dalam mengatasi krisis lingkungan global yang seang terjadi. Usulan yang memang ideal.

Tetapi jika ini dituruti, maka negara maju akan kehilangan devisa yang sangat besar dari hasil ekspor produk tehnologi mereka. Dengan keunggulan sumber daya manusianya dan hasil riset, negara maju akan selalu mempin dalam bidang ekoteknologi dan meraup keuntungan yang besar dari bisnis ini dan seperti halnya yang terjadi di bidang lainnya. Negara dunia ketiga (termasuk negara berkembang) karena sudah terikat komitmen dalam masalah global, mau tidak mau terus mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan negara maju.

Sampai pada KTT bumi yang terakhir di gelar beberapa waktu lalu antar negara maju masing-masing terlihat bersikap oportunis, isu-isu seperti global warning hanyalah menjadi isu-isu dari tahun ketahun yang diangkat negara maju untuk dikampanyekan namun nihil pada kenyataannya ketika berhadapan dengan kebijakkan (kepentingan) tiap negara maju, sehingga yang sering menjadi korban adalah negara berkembang.

Kedua, adalah kecenderungan dari negara maju untuk memindahkan dirty industry ke negara berkembang. Hal ini bahkan didukung oleh salah seorang pejabat senior dari bank dunia. Alasan yang dipakai adalah bahwa negra berkembang memerlukan pengembangan industri yang cepat untuk mengentasan kemiskinan. Mereka berpendapat, jika negara berkembang diberi pilihan antara pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan tingkat pencemaran lingkungan yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang lambat dengan tingkat pencemaran lingkungan yang rendah, tentu negara ketiga akan memilih yang pertama.

Kasus pestisida adalah salah satu contoh setelah mengetahui bahwa senyawa ini telah menyebabkan punahnya beberapa satwa dan menimbulkan penyakit tertentu, produksinya dihentikan. Apa yang dilakukan negara-negara maju selanjutnya? Apakah memusnahkan senyawa itu? Tidak. Mereka mengirim DDT yang tersisa, bahkan bersama teknologi pembuatannya ke negara-negara berkembang yang menerima dengan tangan terbuka. Seperti juga halnya pada awal tahun 90-an Indonesia mendapat kiriman lemari es yang ada senyawa CFC. Peristiwa ini tidak berbeda dengan ekspor sampah, Cuma dibungkus dengan nama keren yaitu alih teknologi. Memang tidak adil.

Disatu sisi negara maju mendapat keuntungan dari hasil penjualannya, di sisi lain negara dunia ketiga harus membayar mahal dengan kerusakan lingkungan dan bahaya yang lebih di masa depan. Sehingga patut sebagian orang Indonesia meneriakkan kepada mereka “Indonesia is not waste dump!” .

Dari kasus fenomena tersebut kiranya manusia negara yang sedang berkembang lebih berhati-hati dalam masalah alih tehnologi. Mengingat bangsa kita ini (memang) sangat senang terhadap semua barang dari luar negeri, meski tidak semuanya jelek. Belajar dari “alih teknologi” sejak ekspor lemari es mengandung senyawa CFC, angkutan transportasi massa, persenjataan dan alat perang dari negara-negara maju sampai pembangunan PLTN yang masih dalam tahap rencana yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat kiranya perlu menjadi perhatian kita bersama.

Dalam produk ekoteknologi, misalnya kita harus segera menuntut proses alih tehnologi yang adil. Ini sangat beralasan karena masalah ekologi global adalah tanggungjawab bersama, baik negara maju dan negara berkembang. Sehingga negara maju tidak bisa seenaknya memanfaatkan masalah lingkungan sebagai lahan bisnis baru unutk memeras dana dari negara berkembang. Jika ini berlanjut, maka yang terjadi adalah ketergantungan yang semakin tinggi negara berkembang terhadap negara maju. Sebuah sejarah yang semakin terulang.

Disamping itu juga sikap selektif negara kita harus semakin ditingkatkan. Jangan sampai kiat mengejar keuntungan sesaat tetapi mengabaikan kepentingan yang lebih besardi masa depan. Industri-industri yang sudah berdiri pun harusnya dievaluasi apakah sudah bersahabat dengan lingkungan atau tidak. Jangan-jangan industri yang dibangun besar-besaran dengan menggunakan uang (modal) negara tersebut adalah “sampah ekspor” yang sengaja dibuang negara asalnya karena termasuk dirty industry. Waallahualam bishawab.

* oleh Akhirudin Subkhi, mahasiswa Geografi UNNES, SekBid. Organisasi DPD IMM Jawa Tengah.


Baca selanjutnya...